Titik Balik Perubahan, Hijrah Dari Budaya Korupsi

ARTIKEL, seputarriau.co  - Sebentar lagi tahun baru Islam 2018, 1 Muharram 1440 Hijriyah tiba.Tahun ini perayaan tahun baru Islam, 1 Muharram 1440 Hijriyah bertepatan pada Selasa (11/9/2018). Di tengah kondisi bangsa yang didera masalah korupsi dan perilaku elite politik yang tidak bermoral, momentum tahun baru hijriah dapat menjadi titik balik perubahan: hijrah dari budaya korupsi menuju budaya bersih dan sehat tanpa korupsi.


Hijrah

Hijrah menurut bahasa artinya berpindah, baik itu dalam konteks berpindah tempat atau berpindah hal. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Atau, berpindah dari satu hal kepada hal yang lain. Perpindahan ini terjadi pada umumnya karena alasan bahwa di tempat atau pada hal baru menyemburatkan harapan pada sesuatu yang lebih baik daripada tempat atau hal sebelumnya. Hijrah dalam kaitan tempat terkait dengan aktivitas fisik, sementara hijrah dalam kaitan hal terkait dengan aktivitas nonfisik. Tujuannya sama, berharap menemukan sesuatu yang baru dan lebih baik.

Dalam sejarah Islam disebutkan, ketika umat Islam awal di Mekah diteror, diintimidasi, diagitasi, hingga mengalami kekerasan fisik, Nabi menyuruh mereka berhijrah pertama kali ke Habasyah, negeri yang dipimpin oleh raja Kristen bergelar An-Najasyi. Raja ini dikenal baik, adil, dan ramah. Sebagian umat Islam pun berhijrah ke sini hingga dua kali, dan mendapat sambutan yang sangat hangat dari An-Najasyi. Bahkan, ketika utusan dari Quraisy datang berusaha menyuap pejabat negeri Habasyah agar meminta An-Najasyi untuk mengembalikan umat Islam ke Mekah, An-Najasyi menolak. Sang Raja sudah tahu alasan mereka berhijrah, sehingga ia berkomitmen melindungi mereka.

Hijrah ketiga dilakukan Nabi dan umat Islam ke Madinah yang sebelumnya bernama Yatsrib. Alasannya juga sama seperti dua hijrah sebelumnya ke Habasyah. Nabi merasa Mekah sudah tidak baik untuk ditinggali kaum muslim, karena setiap hari hidup dalam kecemasan dan kekhawatiran atas tindakan-tindakan kekerasan dari orang-orang Quraisy. Ketika harapan hampir menipis, orang-orang Madinah datang pada musim haji, bertemu Nabi dan menyatakan masuk Islam. Tidak hanya itu, mereka juga bersedia membawa Nabi ke Madinah dan tinggal di sana. Beliau pun menyanggupinya. Maka berangkatlah Nabi dan para sahabat, dalam waktu yang berbeda-beda, menuju Madinah, meninggalkan Mekah. Inilah hijrah fisik.

Adapun hijrah nonfisik adalah hijrah sikap, paradigma berpikir, ide-ide atau gagasan, dan sejenisnya. Meninggalkan sikap, paradigma, dan ide-ide yang lama kepada yang baru yang lebih baik. Ketika masih di Mekah, sikap kaum muslim pasif, tidak melawan, karena jumlahnya masih sedikit. Paradigma dan ide-idenya pun masih lokal, sebatas Mekah dan sekitarnya. Ketika di Madinah, sikap kaum muslim mulai aktif dan melawan. Paradigma dan ide-idenya pun mulai melebar dan meluas seiring perubahan situasi. Ruang di Mekah cenderung sempit, sementara ruang di Madinah cenderung luas. Ini memunculkan banyak ide-ide baru yang memungkinkan perubahan dari sesuatu yang buruk ke arah yang lebih baik berlangsung dengan cepat dan massif. Di Madinah inilah Nabi dan umat Islam mencapai titik keberhasilan yang mengagumkan.

Hijrah dari Korupsi

Perubahan dari sesuatu yang buruk menuju sesuatu yang baik adalah intisari dari hijrah Nabi. Bangsa ini perlu berhijrah, berubah. Rasulullah berhijrah meninggalkan bumi Mekah yang suram, paganistik, tiranik, mistik, otoriter, dan lalim, menuju Madinah dengan membawa harapan dan cita-cita bahwa di bumi yang baru ini beliau bisa lebih berbuat banyak hal untuk menyebarkan kebenaran, melepaskan kesuraman, dan menciptakan cahaya. Inilah pula alasan beliau mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah Al-Munawwarah (kota yang bercahaya). Dan, di Madinah, seperti tercatat dalam sejarah, beliau berhasil secara gemilang mencipta cahaya itu.

Hijrah yang berinti perubahan ini menjadi sesuatu yang urgen, dikaitkan dengan gaya pikir, perilaku, dan tindakan sebagian politisi dan pemimpin di negeri ini yang gemar melakukan korupsi, mencuri uang rakyat, sehingga menjadi budaya massif yang menyebar secara luas tidak hanya di jajaran elite pemerintahan, tetapi bahkan di tengah-tengah masyarakat akar rumput. Sebuah keteladanan buruk yang mestinya tidak layak ditiru. Soal budaya baik dan buruk, Nabi pernah mengungkapkan, “Siapa saja yang membuat budaya baik, kemudian ditiru oleh orang-orang, maka ia akan mendapatkan pahalanya ditambah pahala dari orang-orang yang menirunya tadi, tanpa dikurangi sedikit pun. Dan siapa saja yang membuat budaya buruk, kemudian ditiru oleh orang-orang, maka ia mendapatkan dosanya ditambah dosa orang-orang yang menirunya tanpa dikurangi sedikit pun.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Juhaifah).

Beberapa minggu terakhir ini Indonesia kembali dihebohkan dengan berita penangkapan besar-besaran terhadap wakil rakyat, Sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang, Jawa Timur, berstatus tersangka suap. Mereka ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap pembahasan APBD-P Pemkot Malang Tahun Anggaran 2015. Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, uang suap dialirkan ke DPRD agar penetapan rancangan peraturan daerah Kota Malang tentang APBD-P Tahun Anggaran 2015 disetujui. Sebanyak 22 orang yang ditetapkan tersangka diduga menerima fee Rp 12,5 juta hingga Rp 50 juta dari Wali Kota Malang nonaktif Moch Anton. "Penyidik mendapatkan fakta-fakta yang didukung dengan alat bukti berupa surat, keterangan saksi, dan barang elektronik (terkait dugaan tersebut)," ujar Basaria, Senin (3/9/2018).

Basaria menuturkan, kasus ini mengkhawatirkan dan menjadi cerminan kejahatan korupsi dilakukan secara massal. Pasalnya, selain anggota DPRD sebagai pihak legislatif, kepala daerah dan pejabat pemerintahan daerah selaku eksekutif ikut terlibat. "Pelaksanaan tugas di satu fungsi legislatif, misalnya atau untuk mengamankan kepentingan eksekutif, justru membuka peluang adanya persengkongkolan para pihak mengambil manfaat untuk kepentingan pribadi atau kelompok," ujar Basaria.

Situasi ini membuat peranan anggota legislatif yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan, anggaran, dan regulasi tidak berjalan maksimal. Peristiwa ini juga membuat khawatir Wali Kota Malang terpilih Sutiaji. Sutiaji yang kini menjabat sebagai Plt Wali Kota Malang menyampaikan kegelisahannya itu kepada penyidik KPK di sela pemeriksaan dirinya di Aula Bhayangkari Mapolres Kota Malang, Jumat (31/8/2018) lalu. "Saya menyinggung gini di luar pemeriksaan, ini nanti bagaimana kalau sudah enggak ada DPRD-nya. Ke depan ini dilantik, terus saya nyambut gaene model koyok opo (saya kerjanya kayak apa). APBD-nya 2018, berarti banyak hal yang perlu kami pikirkan," kata Sutiaji usai pemeriksaan.

Korupsi di negeri ini memang sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan. Spektrumnya juga makin meluas dan sangat rapih. Jika dulu korupsi hanya di eksekutif, kini merambah ke legislatif dan yudikaif. Yang sudah jelas-jelas korupsi dibuat sedemikian rupa agar tampak menjadi abu-abu, sehingga melahirkan banyak persepsi dan kesimpangsiuran di kalangan publik. Akhirnya, inti persoalan menjadi kabur, malah tiba-tiba beralih pada soal lain yang tidak terkait. Semua yang terlibat merasa tidak terlibat, padahal mustahil uang rakyat yang dikorupsi itu menguap ke langit, menjadi awan, lalu hilang ditiup angin. Kejujuran memang tidak akan pernah ada dalam pikiran yang sudah dipenuhi dengan paradigma korup dan gaya hidup klepto.

Hijrah Sebagai Perubahan

Hijrah secara fisik sudah tidak ada lagi, demikian dikatakan oleh Nabi Muhammad pada tahun 8 hijriyah, saat terjadi penaklukan Mekkah. Yang ada, lanjut beliau, adalah jihad dan niat. Jihad adalah bersungguh-sungguh dalam segala aktivitas yang baik demi mencapai tujuan tertentu yang baik pula, apa pun bentuknya. Sementara niat adalah sebuah keinginan, cita-cita, dan harapan tentang masa depan yang lebih baik. Jihad bukanlah berperang, karena berperang istilahnya adalah ‘qital’. Jihad sifatnya lebih umum, karena ia merupakan sebuah kesungguhan dalam diri manusia, dan itu bisa bisa melekat pada aktivitas apa pun.

Dengan demikian, dalam hijrah terkandung tiga hal penting, yakni: transformasi, kesungguhan, dan niat. Tiga hal ini merupakan simpul yang merangkai sebuah misi dan visi besar perubahan atas kehidupan manusia menuju ke arah yang lebih baik. Secara simbolis-filosofis, hijrah secara fisik yang dilakukan Nabi Muhammad dan pengikutnya bertujuan agar di tempat hijrah mereka mengalami perubahan, dari yang tadinya menderita karena perlakuan semena-mena dan penindasan, menjadi lebih baik dengan—setidaknya—tidak lagi mengalami perlakuan buruk itu.

Dalam konteks kehidupan bangsa dan negara ini, perubahan ke arah yang lebih baik mesti menjadi agenda utama. Perubahan itu terutama pada perilaku buruk para elit dan pejabat pengelola negara ini. Masalah demi masalah seperti tiada hentinya datang silih berganti. Memang tidak ada kehidupan yang lepas dari masalah. Tetapi, alangkah naifnya ketika masalah baru itu justru merupakan daur ulang dari masalah yang sebelumnya sudah terjadi. Tengok saja misalnya kasus-kasus korupsi, penegakan hukum, suap, mafia hukum, dan seterusnya. Masalah-masalah itu sama saja, hanya beda aktor. Dengan kata lain, sebenarnya tidak ada yang perubahan signifikan yang terjadi. Kita seperti berjalan di tempat, dengan masalah-masalah yang sama, yang kebanyakan tidak tuntas terselesaikan. Parahnya, masalah-masalah itu kemudian hanya menjadi komoditas dan permainan politik, demi kepentingan pragmatis.

Bangsa ini perlu menghijrahkan diri, melakukan perubahan secara sungguh-sungguh dan secara bersama-sama, dari tingkat atas hingga akar rumput. Nabi Muhammad mengatakan bahwa orang yang itu akan mendapatkan sesuai yang diniatkan jika ia sungguh-sungguh berusaha mendapatkannya. (HR Bukhari-Muslim dari Umar bin Khathab). Jika bangsa ini ingin berubah ke arah yang baik dan lebih baik lagi, kemudian diiringi dengan upaya sungguh-sungguh penuh komitmen untuk itu, maka perubahan itu akan terjadi. Tapi, jika sebaliknya, maka perubahan yang dinanti hanya mimpi. Pergantian tahun pun berlalu tanpa makna apa-apa. Hanya begitu saja. Betapa ironisnya.

Korupsi adalah perbuatan terlarang baik menurut agama maupun hukum. Ia merupakan tindakan kriminal berat dan nista. Setiap pergantian tahun, dalam hal ini tahun hijriah, rutin diperingati tidak hanya oleh masyarakat muslim, tetapi juga pemerintah. Ucapan-ucapan selamat tahun baru hijrah bertebaran di media, atau di spanduk-spanduk pinggir jalan, oleh para pemimpin, politisi, dan pejabat pemerintah. Tampak terlihat begitu dalam pesannya, tetapi itu terasa hambar dan semu tanpa makna ketika korupsi ternyata justru tambah menggila di lembaga-lembaga yang mereka pimpin. Nyaris seperti tidak ada gebrakan yang berani untuk memberantasnya. Padahal, semangat hijrah adalah perubahan ke arah yang lebih baik: berubah dari korupsi menjadi tidak korupsi.

 

Penulis: Abdul Hafidz AR, S.IP
Pengamat Sosial
Alumni Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Riau, Wartawan RanahRiau.com
Berdomisili di Pekanbaru
kritik dan saran bisa disampaikan ke :[email protected]
085263905088

(HFZ)


[Ikuti Seputar Riau Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar