Degradasi Demokrasi di Indonesia


KAMPAR, seputarriau.co - Fenomena demokrasi pasca gelombang ketiga demokrasi (democracy’s third wave) hingga akhir abad 20 menunjukan bahwa kemunduran demokrasi berada di tangan para politisi yang terpilih secara demokratis. Regresi demokrasi ini dalam konteks Indonesia pasca pemilu 2019 ditunjukan oleh setidaknya tiga hal.

Pertama,  revisi Undang-Undang KPK yang dilakukan secara kilat dinilai melemahkan institusi KPK dan mencederai narasi anti korupsi yang menjadi semangat reformasi.  Diberlakukannya secara otomatis Undang-Undang KPK (Undang-Undang No. 19 Tahun 2019) dianggap menguntungkan elit politik tanpa melalui proses yang mengakomodasi aspirasi publik. Gerakan mahasiswa mendesak Presiden untuk mengeluarkan Perppu pembatalan Undang-Undang KPK sebagai permasalahan keberpihakan presiden terhadap narasi antikorupsi tersebut.

Kedua, regresi demokrasi terlihat dari pendekatan pemerintah dalam merespon tuntutan gerakan demonstrasi.

Ketiga, regresi demokrasi berkaitan dengan porsi oposisi dalam pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, hasil pemilu tahun 2019 menunjukan minimnya porsi oposisi yang kuat di dalam parlemen berimplikasi pada minimnya pengawasan terhadap pemerintah, akibatnya tidak ada check and balances di dalam proses demokrasi (74% kursi DPR dikuasai koalisi pemerintah).

Orientasi pemerintahan Jokowi yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi melalui stabilitas politik mengingatkan kita pada rezim Orde Baru yang meninabobokan rakyat Indonesia selama 32 tahun. 
Menurut Prof. Ni’matul Huda beberapa catatan hukum dan demokrasi di tahun 2020. Menyoroti kebijakan penanganan pandemi Covid-19, lemahnya koordinasi hubungan pusat dan daerah, pilkada di tengah pandemi, pembentukan Undang-Undang yang minim transparansi dan partisipasi publik, serta pelanggaran Ham dan pembatasan berekspresi.

Kebijakan penanganan pandemi Covid-19, lemahnya koordinasi hubungan pusat dan daerah, pilkada di tengah pandemi, pembentukan Undang-Undang yang minim transparansi dan partisipasi publik, serta pelanggaran Ham dan pembatasan berekspresi. Mengupas tata kelola pemilihan pada pilkada tahun 2020. Menunjukkan pilkada ini berisiko tinggi karena hingga merenggut nyawa banyak petugas serta mahalnya biaya yang dikeluarkan. Kesehatan dan keselamatan dipertaruhkan demi terselenggaranya pilkada tersebut. Di samping itu, peran Mahkamah Konstitusi semakin penting dalam meningkatkan pengujian undang-undang pemilu maupun menangani sengketa pasca pilkada.


Dalam tata kelola pemilu yang lebih baik, kodifikasi pemilu dan pilkada dalam RUU Pemilu harus didukung agar dapat memperkuat kualitas tata Kelola pemilu di Indonesia. Grafik intensitas dan ketertarikan pemberitaan seputar isu demokrasi dan penegakannya di media massa yaitu Indeksnya mencapai 6,48 pada tahun 2019. Indonesia juga berada di posisi 33 dalam indeks risiko kemunduran demokrasi akibat pandemi berdasarkan negara terpapar Covid-19.


Terkait outlook isu demokrasi dan hukum di tahun 2021, penilaian isu kemunduran demokrasi dan upaya untuk mengatasinya masih relevan. Isu lain yang patut diperhatikan adalah demokrasi prosedural, pembahasan RUU Pemilu, ruang kebebasan sipil dan perlindungan HAM, dan isu pemberantasan korupsi dan penegakan hukum.

Dalam konteks Indonesia, meski mengalami kemunduran, demokrasi jelas tidak tergantikan dengan sistem politik lain. Indonesia beruntung dengan banyaknya masyarakat sipil yang walau termarjinalisasikan tetapi bertahan dan dinamis. Kemunduran demokrasi menjadi topik yang beberapa tahun terakhir terus mengusik kehidupan masyarakat Indonesia. Penegakan hukum yang tidak adil dan ketakutan menyatakan pendapat secara terbuka disinyalir menjadi salah satu faktor semakin mundurnya demokrasi di Indonesia.
Saat ini publik mengasumsikan bahwa penegakan hukum yang tidak adil mengakibatkan kita berada pada decline democracy atau demokrasi yang mengalami kemunduran.

Kemunduran demokrasi dapat dipahami sebagai penurunan kualitas demokrasi secara bertahap yang mengakibatkan sebuah negara kehilangan kualitas demokrasinya dan menuju pada ciri rezim otoriter. Kemunduran demokrasi disebabkan karena melemahnya institusi politik yang menopang sistem demokrasi di suatu negara, seperti pemilu yang tidak kompetitif, pembatasan partisipasi, lemahnya akuntabilitas pejabat publik, penegakan hukum yang tidak adil, dan lain sebagainya. Penegakan hukum yang tidak adil hal ini terletak pada jaksa dan peradilan yang bermasalah. Hal ini dapat dilihat pada fenomena diskon hukuman yang diberikan kepada narapidana tindak pidana korupsi menandakan penegakan hukum dan HAM dari jaksa dan peradilan yang bermasalah. 

Saat kita berbicara mengenai penegakan hukum dan Ham maka kita juga menyinggung mengenai sistem peradilan. Lihat hari ini peradilan kita memberikan diskon hukuman besar-besar kepada narapidana korupsi, undang-undang KPK itu sudah lemah ditambah juga peradilannya yang lemah. Lemahnya peradilan disebabkan tidak lain karena penegakan hukum yang belum bisa mengatasi hal ini. Negara belum memiliki ketegasan dalam menegakkan hukum, sehingga penyelewengan, praktik korupsi, hingga pembatasan mengemukakan pendapat masih terus terjadi hingga hari ini. Selain kemunduran demokrasi dan lemahnya peradilan, saat ini Indonesia juga tengah mengalami demokrasi yang tidak lagi bebas. Demokrasi yang tidak lagi bebas, bergerak sedikit HP kita di bajak dan sayangnya kita tidak tahu persis siapa yang membajak. Setiap kali ada pergerakan selalu ada perundungan.

Sekarang bahkan juga banyak sekali podcast-podcast yang dirundung dan diintimidasi oleh pihak-pihak tertentu dan ini merupakan masalah yang berat. Kelompok minoritas juga masih ditindas, kemudian banyak juga pejabat publik yang memberikan isyarat yang tidak benar kepada publik. 

Sekarang ini sudah dua puluh dua tahun perjalanan reformasi. Kenyataannya defisit demokrasi terjadi terutama yang sensitif salah satunya mengenai hak dasar menyatakan pendapat tentang pemerintah yang dilakukan oleh rakyat telah menjadi sorotan dari banyak kalangan. Mengingat rakyat yang mengeluarkan pendapat untuk mengkritisi pemerintahan dapat ilakukan penangkapan, yang kadang-kadang juga dengan dalih pelanggaran undang-undang informasi dan transaksi teknologi. 


Berbagai peristiwa penangkapan dan adanya kekerasan yang berujung kematian tentunya sangat memilukan terjadi di negeri ini yang mengaku sebagai negara demokrasi. Rakyat yang bereaksi melakukan tuntutan tentu ada sebabnya. Rakyat yang mengatakan suatu pendapat, kritik, serta hinaan kepada pihak pemerintah dapat saja diartikan sebagai bentuk rasa frustrasi dan kegelisahan yang sekaligus perhatiannya terhadap kondisi negara. 

Oleh sebab itu, Presiden dan pejabat negara serta jajaran pemerintah lainnya juga sepatutnya mawas diri tentang apa tugas yang sudah dilakukan sesuai dengan fungsinya sebagai bentuk tanggungjawab terhadap rakyatnya. Saatnya pemerintah tidak menggunakan “lagu lama” dengan pola zero-sum-game yang berarti rakyat harus ditekan.

Akan tetapi pemerintah menerapkan win-win solution, yakni memperkuat negara tidak berarti melemahkan rakyat. Dalam hal memperkuat negara, pemerintah dengan tugas dan fungsinya harus meningkatkan apasitas negara untuk membangun kebijakan publik berkualitas yang berdampak signifikan agi rakyat. Bukan sebaliknya, pemerintah sibuk membangun kebijakan yang jauh dari yang di nanti rakyat yang pada akhirnya juga demokrasi mengalami degradasi.

Penulis Oleh : Dr. Ratna Riyanti MH
Fakultas Hukum Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai-Riau
email: [email protected]


(MN)

 

 


[Ikuti Seputar Riau Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar