Penahanan Rudianto Oleh Polres Rohil Adalah Kemunduran Penegakan Hukum di Indonesia

Foto : Praktisi Hukum, Eclund Valeri Silaban SH MH.Li MM Bersama Istri Korban Rudianto Sianturi, Christina


JAKARTA, seputarriau.co  - Praktisi Hukum, Eclund V. Silaban menilai Penanahan Rudianto Sianturi oleh Polres Rokan Hilir adalah hal yang sangat ajaib dan tidak masuk akal, apalagi dengan adanya instruksi dari Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo kepada seluruh jajarannya untuk tidak ragu mengusut tuntas kasus-kasus mafia tanah di seluruh Indonesia.

Sekilas mengenai kasus yang menimpa Rudianto Sianturi, pada tahun 2011 Rudianto mendapat kompensasi atau ganti upah lahan kosong seluas 100 hektar dari Perangkat Kepenghuluan Air Hitam setelah pengerjaan pembangunan Jalan Swadaya sepanjang 11 kilometer yang menghubungkan Desa Air Hitam dengan Desa Kasang Padang Kecamatan Bonai Darusalam Kabupaten Rokan Hulu. 

Pemberian lahan tersebut atas hasil Musyawarah Desa pada tanggal 17 April 2011 dengan ditandatangani oleh seluruh perangkat desa dan perwakilan masyarakat di Air Hitam.
Sebelum adanya jalan yang dibangun oleh Rudianto Sianturi, daerah tersebut merupakan hutan belantara yang tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Namun kemudian, dengan adanya jalan sejak tahun 2011, masyarakat akhirnya dapat memanfaatkan wilayah tersebut dan tentunya kesejahteraan pun turut meningkat. Kompensasi tanah yang diterima oleh Rudianto Sianturi tersebut mendapat legalitas dalam bentuk SKT (Surat Keterangan Tanah), yang diterbitkan oleh Zamzami selaku Penghulu Air Hitam pada tahun 2011.

Singkat cerita, Zamzami dipidana penjara selama 6 bulan atas tindakan pemalsuan surat dengan dasar Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 62 K/Pid/2021 (di tingkat Pengadilan Negeri Rokan Hilir dan Pengadilan Tinggi Riau, Zamzami diputus tidak bersalah).  Kemudian, muncullah TS bersama beberapa rekannya mengaku memiliki tanah di wilayah tersebut seluas 400 Hektar dan seluas 65 Hektar tanahnya diduga diserobot oleh Rudianto Sianturi. TS kemudian melakukan Laporan di Polres Rokan Hilir, dan akhirnya Rudianto Sianturi ditahan di Polres Rokan Hilir sejak bulan Juli 2021 atas dugaan menggunakan surat palsu (263 ayat (2) KUHP), yang dalam hal ini adalah karena SKT yang dimilikinya. 

Dasar kepemilikan tanah milik TS adalah SKGR (Surat Keterangan Ganti Rugi) yang diterbitkan oleh Antan, PLT Penghulu Air Hitam pada tanggal 25 Desember 2009, sementara menurut keterangan masyarakat di Air Hitam pada tahun tersebut wilayah yang diakui sebagai tanah milik TS masih hutan belantara, dan tidak ada satupun masyarakat yang mengenal atau bahkan sekedar melihat TS hingga kasus ini bergulir. 

Ratusan masyarakat Air Hitam dengan segala upaya telah memperjuangkan keadilan bagi Rudianto Sianturi, karena bagi mereka TS ini adalah sosok yang tiba-tiba muncul setelah melihat potensi yang dapat dimanfaatkan dari tanah di Air Hitam. Namun hingga saat ini upaya tersebut belum menemukan titik terang.

Eclund berpendapat, ada kejanggalan secara hukum untuk menarik keterkaitan Rudianto Sianturi dengan kasus hukum Zamzami, berdasarkan Petikan Putusan Kasasi tersebut (karena hingga berita ini terbit, Salinan Putusan tak kunjung dikeluarkan oleh Mahkamah Agung) tidak ada satupun putusan dalam Petitum Majelis Hakim Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa SKT milik Rudianto Sianturi sebagai SKT Palsu. Dengan kata lain Polres Rokan Hilir secara sepihak telah menyimpulkan bahwa semua surat-surat yang diterbitkan Zamzami selama menjabat sebagai Penghulu Air Hitam adalah surat palsu. 

Hal ini sangat berbahaya dan menjadi potensi kriminalisasi terhadap seluruh Masyarakat Air Hitam. 
SKT merupakan bukti kepemilikan untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah, namun di banyak wilayah di Indonesia masih banyak masyarakat tidak meningkatkan SKT menjadi Sertifikat Tanah, namun legalitas dari SKT tersebut dapat menjadi alat bukti yang kuat bagi si pemilik. Sementara SKGR merupakan surat keterangan yang dikeluarkan oleh Lurah atau Camat terhadap peralihan tanah garapan yang belum bersertifikat, yang kemudian dapat dilanjutkan menjadi SKT sebagai legalitas dari SKGR tersebut. 

Kasus Rudianto Sianturi dengan TS jelas-jelas merupakan sengketa tanah dengan masing-masing alas hak yang dapat saling dibuktikan keabsahannya terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam ranah pidana.

Menurut keterangan masyarakat Air Hitam, sebelum melakukan Penahanan terhadap Rudianto Sianturi, Pihak Polres Rokan Hilir tidak ada melakukan pemeriksaan terlebih dahulu untuk melihat kebenaran fakta dilapangan terkait kondisi tanah yang dilaporkan oleh TS. Dengan kepemilikan SKT oleh Rudianto Sianturi dan SKGR oleh TS seharusnya terlebih dahulu dilakukan mediasi di perangkat Desa Air Hitam, atau bahkan dapat juga melalui Kantor Pertanahan setempat, untuk membuktikan kebenaran fakta. Polres Rokan Hilir telah menciderai asas ultimum remedium, dimana seharusnya pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum dan ini adalah kemunduran dalam penegakan hukum di Indonesia.

Lebih lanjut Eclund mengatakan, "Bagaimana bisa Polres Rokan Hilir menetapkan Rudianto Sianturi sebagai tersangka, sedangkan secara hukum SKT miliknya sah dan tidak ada satupun Putusan Pengadilan atau keterangan dari Instansi berwenang yang menyatakan SKT miliknya palsu?”, Bahkan menurut keterangan dari Rudianto Sianturi, saat ditahan beliau didesak untuk membuat perdamaian agar laporannya dicabut oleh TS dengan ketentuan “memberikan tanah miliknya kepada JS”. 

Hal ini tentu menimbulkan dugaan, penahanan terhadap Rudianto Sianturi hanya semata-mata agar beliau dengan sukarela menyerahkan tanahnya kepada JS. Padahal yang membuat laporan adalah TS, kenapa tanahnya diserahkan kepada JS?.

TS, JS dan rekan-rekannya yang lain merupakan oknum, dari luar Air Hitam, yang tiba-tiba datang dan mengaku memiliki tanah sebesar 400 Hektar di wilayah tersebut. Rudianto Sianturi, seorang petani dari Air Hitam hanya merupakan percontohan dari kemungkinan rencana yang akan dilakukan oknum tersebut untuk menguasai tanah-tanah di Air Hitam, apabila kasus Rudianto Sianturi berlanjut dan tidak diproses sesuai aturan yang berlaku, cepat atau lambat akan ada puluhan bahkan ratusan warga Air Hitam yang berpotensi untuk menyusul Rudianto Sianturi masuk tahanan.

Kasus Rudianto Sianturi harus ditanggapi serius dan menjadi sorotan bagi POLRI atau berbagai instansi lain yang berwenang, karena jangan sampai, instruksi dari Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo kepada seluruh jajarannya untuk tidak ragu mengusut tuntas kasus-kasus mafia tanah di seluruh Indonesia, justru menjadi pedang bermata tajam yang digunakan oleh Para Mafia Tanah dengan kemampuan modal yang cukup besar untuk menindas masyarakat-masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia.

(MN)


[Ikuti Seputar Riau Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar